KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Makalah
kompilasi hukum islam ini dikutip terdiri dari 3 (tiga) materi, antara lain; Tentang
Hukum Perkawinan, Tentang Hukum Kewarisan, Tentang Hukum Perwakafan. Dalam
lokakarya yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 2 sampai dengan 5 Februari
1998 dengan wewenang Peradilan Agama dan diterima baik oleh para Ulama dan
Sarjana Hukum Islam seluruh Indonesia, melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991 telah ditentukan sebagai pedoman atau pegangan bagi Instansi Pemerintah
dan Masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah – masalah di
ketiga bidang dimaksud.
Dalam
Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991, sesuai Instruksi Presiden
telah meminta kepada seluruh Instansi Departemen Agama dan Instansi Pemerintah
lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam dimaksud. Untuk
Peradilan Agama, supaya agar menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut
disamping peraturan perundang – undangan lainnya dalam menyelesaikan masalah –
masalah di ke tiga bidang hukum dimaksud.
Pada
tanggal 21 Maret 1984 Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama Republik
mengeluarkan Surat Keputusan Bersama untuk membentuk Panitia, yang bertugas
mengumpulkan bahan – bahan dan merancang Kompilasi Hukum Islam dimaksud .
Panitia
tersebut menempuh empat jalur dalam melaksanakan tugasnya, antara lain; Jalur
pertama adalah jalur pengkajian kitab – kitab fiqih dengan bantuan beberapa
tenaga pengajar dari Fakultas Syariah IAIN di Indonesia. Jalur kedua adalah
jalur pendapat ulama, khususnya ulama fiqih di Indonesia. Jalur ketiga adalah
jalur jurisprudensi yang terhimpun dalam Putusan – putusan Peradilan Agama
seluruh Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda hingga Kompilasi tersusun.
Jalur keempat adalah dengan studi banding mengenai pelaksanaan dan penegakan
Hukum Islam di Negara Muslim seperti di Malaysia yang penduduknya Mayoritas
Islam.
I. Hukum Perkawinan
Terdiri dari 19 Bab
dengan 170 Pasal;
Bab I
Ketentuan Umum
Pasal
1
Peminangan, wali
hakim, akad nikah, mahar, taklik talak, harta kekayaan dalam perkawinan atau
harta bersama, pemeliharaan anak, perwalian, khuluk dan mut’ah (pemberian
mantan suami kepada istri yang ditalakberupa benda atau ruang, dan sebagainya
untuk bekal hidup, penghibur hati, mantan istrinya)
Bab II (Pasal 2 sampai 10)
Dasar – Dasar Perkawinan
Pasal
2
Pernikahan sebagai
akad yang sangat kuat dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal
3
Tujuan perkawinan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah (sejahtera-bahagia), yang
dibina dengan mawadah (cinta) dan rahmah (kasih sayang).
Pasal
4
Sah-nya perkawinan
bila dilakukan menurut hukum islam.
Pasal
5
Setiap perkawinan
harus dicatat oleh Pegawai Pecatat Nikah.
Pasal
6
Setiap perkawinan
harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
Pasal
7
Perkawinan hanya
dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah
Bab 3 (Pasal 11 sampai 13)
Peminangan
Pasal
11
Tata cara peminangan.
Pasal
12
Wanita yang dapat
atau boleh dipinang (gadis atau janda yang telah habis masa iddahnya), sedang
wanita yang tidak boleh dipinang adalah wanita yang sedang dipinang pria lain,
wanita yang ditalak tetapi yang mungkin rujuk atau kembali bersatu dengan
suaminya (dalam masa iddah raj’iah).
Pasal
13
Peminangan belum
menimbulkan akibat hukum dan pemutusan peminangan dilakukan sesuai dengan
tuntunan agama dan kebiasaan setempat.
Bab IV (Pasal 14 sampai 29)
Rukun dan Syarat Perkawinan
Pasal
14
Rukun
nikah:
(1)
Calon
suami.
(2)
Calon
istri.
(3)
Wali
nikah.
(4)
Dua
orang saksi.
(5)
Ijab
dan Kabul.
Pasal
15 sampai 18
Menjelaskan tentang
calon mempelai (calon suami-istri), batas umur untuk menikah (19-16 tahun),
persetujuan mereka untuk dinikahkan yang harus ditanya sebelum pernikahan
dilangsungkan.
Pasal
19
Wali nikah.
Pasal
20
Yang berhak menjadi
wali nikah yaitu wali nasab (yang mempunyai hubungan darah dengan calon
mempelai wanita) dan wali hakim.
Pasal
21
Susunan keutamaan
kekerabatanwali nasab.
Pasal
22
Pergeseran wali
nasab, apabila wali nasab yang paling berhak berhalangan menjadi wali nikah.
Pasal
23
Wali hakim ( pejabat
pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Agama) menjadi wali nikah apabila wali
nasab tidak ada, berhalangan atau enggan melakukan pernikahan calon mempelai
wanita.
Pasal
24
Setiap perkawinan
harus disaksikan oleh dua orang.
Pasal
25
Syarat orang yang
dapat menjadi saksi; Muslim,adil, akil balig, waras dan tidak tuli.
Pasal
26
Saksi harus hadir
menyaksikan langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan
ditempat akad nikah dilangsungkan.
Pasal
27
Ijab dan Kabul antara
wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun, tidak berselang waktu.
Pasal
28
Akad nikah
dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah, tetapi wali nikah dapat
mewakilkannya kepada orang lain.
Pasal
29
Calon mempelai pria
pribadi yang berhak mengucapkan Kabul. Namun, dalam hal – hal tertentu
pengucapan Kabul dapat diwakilkan kepada pria lain dengan pemberian kuasa
tertulis secara tegas. Kalau calon mempelai wanita atau walinya keberatan calon
mempelai pria diwakili, akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
Bab V (Pasal 30 sampai 38)
Mahar
Pasal
30
Calon mempelai pria
wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlaj, bentuk dan
jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak
Pasal
31, 32, dan 33
Tata cara penentuan
mahar, pemberiannya kepada calon mempelai wanita dan penyerahannya yang dapat
tunai tetapi boleh juga ditangguhkan baik untuk seluruhnya maupun untuk
sebagian.
Pasal
34
Bahwa mahar bukan
merupakan rukun dalam perkawinan. Kelalaian menyebut jenis dan jumlahnya waktu
akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan.
Pasal
35
Penyelesaian mahar
kalau suami menalak istrinya atau meninggal dunia sebelum mereka berkumpul
sebagai suami istri.
Pasal
36, 37, dan 38
Soal – soal mengenai
mahar dan pemecahan masalahnya kalau terjadi hal – hal teknis yang disebutkan
dalam pasal – pasal tersebut.
Bab VI (Pasal 39 sampai 44)
Larangan Kawin
Pasal
39
Seorang
pria dilarang kawin dengan seorang wanita;
(1)
Karena
pertalian darah (nasab) yaitu perkawinan antara seorang pria dengan;
(a)
Seorang
wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya.
(b)
Seorang
wanita keturunan ayah atau ibu.
(c)
Seorang
wanita saudara yang melahirkannya.
(2)
Karena
pertalian perkawinan (kerabat, semenda) yakni perkawinan pria dengan;
(a)
Seorang
wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya.
(b)
Seorang
wanita bekas istri orang yang menurunkannya.
(c)
Seorang
wanita ketrunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya perkawinan dengan
bekas istrinya itu sebelum mereka berhubungan suami istri.
(3)
Karena
pertalian sesusuan, yaitu dengan;
(a)
Wanita
yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus keatas.
(b)
Wanita
sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah.
(c)
Wanita
saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan kebawah.
(d)
Wanita
bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan keatas.
(e)
Anak
yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.
Pasal
40
Seorang
pria dilarang kawin dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, yaitu;
(1)
Karena
wanita bersangkutan masih terikat perkawinan dengan pria lain.
(2)
Wanita
yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. Dalam undang – undang
perkawinan, masa iddah atau idah disebut masa tunggu bagi seorang wanita yang
ditalak atau kematian suami atau hamil, sebelum kawin lagi dengan pria lain.
(3)
Wanita
yang tidak beragama islam.
Pasal
41
(1)
Seorang
pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan
pertalian darah atau susuan dengan istrinya, yaitu;
(a)
Saudara
kandung, seayah atau seibu serta keturunannya.
(b)
Wanita
dengan bibinya dengan bibinya atau kemenakannya.
(2)
Larangan
tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri atau istri – istrinya telah
ditalak raj’I (talak yang dapat dirujuk atau kembali lagi sebagai suami istri)
tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal
42
Larangan bagi seorang
pria melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut
sedang terikat tali perkawinan dengan lebih dari seorang istri.
Pasal
43
Melarang
perkawinan seorang pria;
(1)
Seorang
pria dilarang kawin dengan;
(a)
Seorang
wanita bekas istrinyta yang telah ditalak tiga kali.
(b)
Seorang
wanita bekas istrinya yang dili’an (yaitu tuduhan dengan sumpah).
(2)
Gugurnya
larangan tersebut pada huruf (a) jika mantan istri itu telah kawin dengan dan
bercerai lagi dari pria lain.
Pasal
44
Seorang wanita islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
islam.
Bab VII (Pasal 45 sampai 52)
Perjanjian Perkawinan
Pasal
45
Bahwa
kedua mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk;
(1)
Taklik
talak. Taklik talak adalah talak yang digantungkan pada hal atau ketentuan
tertentu yang disebutkan dalam perjanjian perkawinan yang diucapkan pengantin
pria setelah ijab Kabul. Kendatipun taklik talak bukan merupakan suatu
perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan yang dilangsungkan di
Indonesia mempelai pria mengucapkan taklik talak itu. Dan sekali taklik talak
sudah diucapkan, perjanjian itu tidak dapat dicabut kembali.
(2)
Perjanjian
lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Biasanya perjanjian perkawinan
bentuk ini adalah mengenai percampuran atau pemisahan harta pencarian masing –
masing, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum islam.
Pasal
83
(1)
Kewajiban
utama seorang istri ialah setia lahir dan batin kepada suami didalam batas –
batas yang dibenarkan oleh hukum islam.
(2)
Menyelenggarakan
dan mengatur keperluan rumah tangga sehari –hari dengan sebaik – baiknya.
Pasal
84
(1)
Istri
dapat dianggap nuzyus jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban – kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
(2)
Selama
istri dalam nuzyus, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80
ayat (4) huruf (a) dan (b) tidak berlaku, kecuali hal – hal yang berhubungan
dengan kepentingan anaknya.
(3)
Kewajiban
suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali sesudah istri tidak (lagi)
nuzyus.
(4)
Ketentuan
tentang ada atau tidak adanya nuzyus istri harus didasarkan atas bukti yang
sah.
Bab XIII (Pasal 85 sampai 97)
Harta Kekayaan Dalam Perkawinan
Pasal
85
Adanya harta bersama
dalam perkawinan (dengan) tidak menutup kemungkinan adanya harta masing –
masing suami istri.
Pasal
86, 87, 88, 89, 90, 91
Prinsip adanya harta
bersama dan harta masing – masing suami istri, tanggung jawab menjaga harta
bersama, harta istri dan harta suami, bentuknya berwujud atau tidak berwujud,
pengelolaannya, pertanggung jawaban dan soal –soal teknis lainnya.
--Pasal 92, 93, 94,
dan 95—
Pasal
96
(1)
Apabila
terjadi cerai mati, separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih
lama.
(2)
Pembagian
harta bersama seorang suami atau istri yang hilang harus ditangguhkan sampai
kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas putusan pengadilan
agama.
Pasal
97
Janda atau duda cerai
hidup masing – masing berhak seperdua harta bersama sepanjang tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan.
Bab XIV (pasal 98 sampai 106)
Pemeliharaan Anak
Pasal
99
Anak
yang sah adalah;
(1)
Anak
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
(2)
Hasil
pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Pasal
100
Anak yang lahir
diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan darah (nasab) dengan ibunya dan
keluarga ibunya.
Pasal
101
Seorang suami yang
mengingkari sahnya anak, sedang istrinya tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan
pengingkarannya dengan li’an.
Pasal
103
Asal usul seorang
anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
Pasal
105
Dalam
hal terjadinya perceraian;
(1)
Pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
(2)
Pemeliharaan
anak yang sudah mumayyiz (sudah berumur 12 tahun) diserahkan kepada anak yang
bersangkutan untuk memilih ayah atatu ibunyakah yang berhak atas
pemeliharaannya.
(3)
Biaya
pemeliharaan (anak) ditanggung oleh ayahnya.
II. Hukum Kewarisan
Dalam materi Hukum
kewarisan ini tidak memuat rumusan dalam pasal – pasal, namun dalam materi ini
mengutip beberapa hal yang sifatnya mendasar tentang kewarisan.
Adapun unsur – unsur
kewarisan, antara lain; Pewaris, Harta Warisan, dan Ahli Waris.
Pewaris, adalah
seseorang yang telah meninggal dunia dan mennggalkan sesuatu hal (harta) untuk
keluarganya yang masih hidup. Berdasarkan asas ijbari, pewaris pada waktu akan
meninggal tidak berhak menentukan siapa saja yang akan mendapat peninggalannya,
berapa bagiannya, dan bagaimana cara mengalihkan harta itu. Sebab, semuanya
telah ditentukan Allah swt kepada calon pewaris mengenai harta yang akan
ditinggalkannya, kemerdekaan itu hanya terbatas pada pengalihan sepertiga harta
yang akan ditinggalkannya untuk seseorang yang dikehendakinya. Batas itu
ditentukan untuk menjaga agar hak ahli waris yang telah ditentukan Allah swt
tidak terlanggar.
Harta warisan/ harta
peninggalan, adalah segala sesuatu hal yang ditinggalkan pewaris yang secara
hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Maka, harta yang akan ditinggalkan
tersebut harus sepenuhnya harta milik pewaris, benda yang bukan sepenuhnya
milik pewaris tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Bentuknya berupa benda
bergerak, benda tidak bergerak, berwujud, atau hak – hak tertentu. Bila pewaris
meninggalkan hutang, maka ahli waris hanya mempunyai tanggung jawab yang terbatas
terhadap jumlah harta yang ditinggalkan pewaris saja. Karenanya, ahli waris
tidak wajib membayar hutang – hutang pewaris dengan harta pribadinya ahli waris,
melebihi harta yang ditinggalkan pewaris.
Ahli
waris, adalah satu orang atau lebih yang berhak atas harta warisan yang
ditinggalkan oleh pewaris. Disamping karena hubungan kekerabatan atau keluarga,
Seseorang dapat menjadi ahli waris jika memenuhi syarat – syarat berikut;
(1)
Masih
hidup saat pewaris meninggal dunia.
(2)
Tidak
ada sebab – sebab yang menghalanginyamenjadi ahli waris.
(3)
Tidak
tertutup (terdinding atau terhijab, yang akan dijelaskan) oleh ahli waris yang
lebih utama.
Pada
intinya, perincian ahli waris adalah sebagai berikut;
(1)
Anak
laki – laki dan anak perempuan.
(2)
Cucu
laki – laki dan perempuan.
(3)
Ayah.
(4)
Ibu.
(5)
Kakek.
(6)
Nenek.
(7)
Saudara
laki – laki dan saudara perempuan sekandung, seayah dan seibu.
(8)
Anak
saudara.
(9)
Paman
atau bibi.
(10)
Anak
paman dan anak bibi.
Dari kesemuanya,
adalah ahli waris karena hubungan darah, sedangkan ahli waris karena perkawinan
adalah suami atau istri. Kedudukan suami istri sebagai ahli waris ditetapkan
dengan tegas dalam Al-Quran surat An-Nisa (4) ayat 12. Hubungan perkawinan
tidak menyebabkan atau mengakibatkan hak kewarisan apapun bagi kerabat suami
dan atau kerabat istri.
Dari
segi perolehan, ada dua macam ahli waris
didalam hukum kewarisan islam;
(1)
Ahli
waris yang sudah ditentukan bagiannya secara pasti (zul fara’id).
Adalah, ahli waris yang mendapat bagian
pasti, mungkin setengah, seperempat, seperdelapan, sepertiga, dua pertiga, dan
seperenam.
(2)
Ahli
waris yang tidak ditentukan bagiannya secara pasti.
Adalah, mereka yang mendapat bagian
keseluruhan harta warisan, jika tidak ada ahli waris zul fara’id lainnya, atau
mereka mendapat sisa harta sesudah dikeluarkan bagian zul fara’id dengan pembagian
yang bersifat terbuka.
Adapun
beberapa sebab yang menjadi penghalang bagi orang yang menjadi ahli waris,
antara lain;
(1)
Pembunuhan,
yang dilakukan oleh (calon) pewaris.
(2) Perbedaan
agama, adalah seorang muslim/ muslimat tidak bisa menjadi ahli waris seorang
yang non-muslim, begitupun sebaliknya (al-Hadis).
(3)
Kelompok
keutamaan dan hijab.
(a)
Bergabung
anak – anak pewaris dan orang tuanya.
(b)
Bergabung
saudara – saudara pewaris.
Asas – asas yang
dituang kedalam kompilasi hukum islam, antara lain;
(1)
Asas
ijbari, terlihat pada ketentuan umum, mengenai perumusan pengertian kewarisan,
pewaris dan ahli waris. Secara khusus, tersebut dalam ketentuan umum pada pasal
187 ayat (2) yang berbunyi;
Sisa pengeluaran dimaksud diatas adalah
merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
Perkataan harus dalam pasal ini menunjukan
kandungan dari asas ijbari yang dimaksud.
(2)
Asas
bilateral, duda atau janda menjadi ahli waris berdasarkan hubungan perkawinan
juga termasuk cirri dari asas bilateral. Perlu dicatat, bahwa asas bilateral
dalam hukukm kewarisan di Indonesia untuk pertama kalinya, dikemukakan oleh
Alm. Prof. Hazairin mantan guru besar Hukum Islam dan Hukum Adat Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Ketika memperingati hari ulang tahun Universitas Islam
Jakarta tanggal 17 Nopember 1957, dalam kuliah umumnya beliau mengatakan bahwa
system kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan) dalam Al-Quran adalah bilateral.
Kesimpulan itu beliau kemukakan setelah mempelajari ayat – ayat perkawinan dan
kewarisan (kekeluargaan) dalam Al-Quran. Sejak tahun 1950 dalam bukunya Hukum
Kewarisan Bilateral, bahwa Al-Quran adalah anti kepada masyarakat yang
unilateral, yaitu masyarakat yang berklan – klan menurut system kekeluargaan
secara matrilineal dan patrilineal. Beliau menambahkan, Al-Quran hanya meredai
masyarakat yang bilateral. Keyakinan itu beliau peroleh setelah memperdalam
kandungan surat N-Nisa (4) ayat 23 dan 24 mengenai larangan – larangan
perkawinan.
(3)
Asas
individual, khusus bagi ahli waris yang belum dewasa atau belum mampu bertindak
melaksanakan hak dan kewajibannya atas harta warisan yang diperoleh, baginya
diangkat wali berdasarkan putusan hakim atas usul anggota keluarganya. Ini
diatur dalam Pasal 184 kompilasi Hukum islam.
(4)
Asas
keadilan berimbang, juga dikembangkan dalam penyesuaian perolehan yang
dilakukan pada waktu penyelesaian pembagian warisan melalui;
(a)
Pemecahan
secara aul, dengan membebankan kekurangan harta yang akan dibagi kepada semua
ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing – masing.
(b)
Rad,
yaitu mengembalikan sisa (kelebihan) harta kepada ahli waris yang ada sesuai
dengan kadar bagian masing – masing. Dalam kompilasi hukum islam mengenai rad
ini tertuang dalam pasal 193 yang berbunyi; Apabila dalam pembagian harta
warisan diantara para ahli waris zul fara’id menunjukan bahwa angka pembagian
lebih kecil daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah
(berhubungan darah karena seklen) maka pembagian harta warisan tersebut
dilakukan secara rad, sesuai dengan hak masing – masing ahli waris, sedang
sisanya dibagi secara berimbang diantara mereka.
(c)
Takharuj
atau tasaluh (damai) berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam kompilasi islam hal
ini tertuang dalam pasal 183 dengan bunyi; Para ahli waris dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing – masing
menyadari bagiannya.
Contoh:
Pengadilan
Agama menetapkan bahwa C dan D mewarisi seluruh harta peninggalan kakeknya
berbanding 2:1 sedangkan E dan F tak berhak mewarisi dari kakeknya karena
keduanya adalah dzawil arham. Jadi, C mendapat 2/3 bagian, dan D mendapat 1/3
bagian.
Jika
ajaran kewarisan bilateral Hazairin diterapkan pada kasus tersebut diatas, maka
C, D, E, dan F memperoleh harta peninggalan sebagai ahli waris pengganti
(mawali) orang tuanya atas dasar Al-Quran surat An-Nisa (4) ayat 33 dengan
formula 2;1. Jadi, C mendapat 2/3 x 2/3 = 4/9; D mendapat 1/3 x 2/3 = 2/9.
Keduanya yakni C dan D adalah mawali (dari) A. Sedangkan E mendapat 2/3 x 1/3 =
2/9; F mendapat 1/3 x 1/3 = 1/9. Keduanya, adalah mawali (dari) B.
III. Hukum Perwakafan
Bab I
Ketentuan Umum
Pasal
215
--Maksud wakaf,
wakif, ikrar, benda wakaf, nadzir, pejabat pembuat akta ikrar wakaf yang
diangkat dandiberhentikan oleh Menteri Agama—
Bab II
Fungsi, Unsur – unsur dan Syarat – syarat Wakaf
Pasal
216
Fungsi wakaf adalah
mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.
Pasal
217
Unsur
– unsur dan syarat – syarat wakaf;
(1)
Bahwa
badan – badan hukum Indonesia dan orang atau orang – orang yang telah dewasa
dan sehat akalnya serta oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan
hukum, atas kehendak sendiri depat mewakafkan benda miliknya dengan
memperhatikan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
(2)
Yang
bertindak untuk dan atas nama badan – badan hukum itu adalah pengurusnya yang
sah menurut hukum.
(3)
Benda
wakaf (segala benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya
tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilaimenurut ajaran islam) harus
merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan
sengketa.
Pasal
218
Wakif, yaitu orang
atau orang – orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya harus
mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nazir yaitu kelompok orang
atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
Pasal
219
(1)
Syarat
– syarat nazir harus;
(a)
Warga
Negara Indonesia.
(b)
Beragama
Islam.
(c)
Sudah
dewasa.
(d)
Sehat
jasmani dan rohani.
(e)
Tidak
berada dibawah pengampunan.
(f)
Bertempat
tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkan.
(2)
Jika
nazir berbentuk badan hukum, harus;
(a)
Badan
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
(b)
Mempunyai
perwakilan dikecamatan tempat letak benda yang diwakafkan.
Pasal
220, 221, dan 222
Kewajiban dan Hak –
hak Nazir, antara lain; nazir berkewajiban mengurus dan bertanggung jawab atas
kekayaan wakaf serta hasilnya, melaksanakan pengurusan wakaf sesuai dengan
tujuannya. Nazir berhak mendapat penghasilan dan fasilitas, yang jenis dan
jumlahnya ditentukan berdasarkan kelayakan setempat.
Bab III
Tata Cara Perwakafan
dan Pendaftaran Benda Wakaf
Pasal
223
--Tata Cara
Perwakafan—
Pasal
224
--Cara – cara
pendaftaran—
Bab IV
Perubahan,
Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf
Pasal
225
--Tentang perubahan
benda wakaf—
Pasal 226
--Penyelesaian
perselisihan benda wakaf
Pasal 227
Pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab nazir dilakukansecara bersama – sama oleh
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamata, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan Agama
yang disekitar wilayahnya.
Pasal 228
Perwakafan benda,
demikian juga pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya ketentuan ini,
harus dilaporkan dan didaftarkan kepada kantor Urusan Agama Kecamatan setempat
untuk disesuaikan dengan ketentuan – ketentuan ini.
Bab V
Penutup
Pasal
229
Hakim dalam
menyelesaikan perkara – perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan
dengan sungguh – sungguh nilai – nilai hukum yang hidup dalam masyarakat,
sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.
Ketentuan Penutup
dari materi ketiga ini, dimaksudkan juga mencakup sebagai Penutup dari tiga
materi yang telah dibahas.
Dalam penjelasan umum
disebutkan bahwa hukum materiil yang selama ini berlaku dilingkungan Peradilan
Agama adalah Hukum Islam yang pada garis besarnya meliputi bidang Hukum
Perkawinan, Hukum Kewarisan dan Hukum Perwakafan.
Demikian penjelasan
umum dimaksud, perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumentasi yustisia
atau buku kompilasi Hukum Islam sehingga dapat dijadikan pedoman bagi hakim
dilingkungan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara
– perkara yang diajukan kepadanya.
Jika pasal – pasal
Kompilasi Hukum Islam tersebut dipelajari dengan seksama, segera terasa bahwa
isinya selain mengandung garis – garis hukum atau bagian – bagian hukum Islam
yang sudah meresap kedalam dan menjadi kesadaran hukum masyarakat muslim, juga
mengandung hal – hal baru yang bercorak Indonesia, misalnya untuk menyebut
sekedar contoh ahli waris pengganti, waiat wajibah untuk anak angkat.
Dari
penjabaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber penyusunan Hukum Islam
dalam kompilasi ini selain dari Wahyu yang terdapat dalam Al-Quran, Sunah
Rasulullah yang terdapat dalam kitab – kitab hadis, juga ra’yu (akal pikiran)
melalui ijtihad yang tercermin dalam;
(1)
Kitab
– kitab fiqih.
(2)
Pendapat
para Ulama Indonesia.
(3)
Yurisprudensi
Peradilan Agama.
(4)
Hasil
studi perbandingan dengan Negara – Negara lain.
(5)
Peraturan
perundang – undangan mengenai perkawinan dan perwakafan tanah milik di
Indonesia.
--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar