Rabu, 11 Maret 2015

Makalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia


KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Makalah kompilasi hukum islam ini dikutip terdiri dari 3 (tiga) materi, antara lain; Tentang Hukum Perkawinan, Tentang Hukum Kewarisan, Tentang Hukum Perwakafan. Dalam lokakarya yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1998 dengan wewenang Peradilan Agama dan diterima baik oleh para Ulama dan Sarjana Hukum Islam seluruh Indonesia, melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 telah ditentukan sebagai pedoman atau pegangan bagi Instansi Pemerintah dan Masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah – masalah di ketiga bidang dimaksud.
Dalam Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991, sesuai Instruksi Presiden telah meminta kepada seluruh Instansi Departemen Agama dan Instansi Pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam dimaksud. Untuk Peradilan Agama, supaya agar menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut disamping peraturan perundang – undangan lainnya dalam menyelesaikan masalah – masalah di ke tiga bidang hukum dimaksud.
Pada tanggal 21 Maret 1984 Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama Republik mengeluarkan Surat Keputusan Bersama untuk membentuk Panitia, yang bertugas mengumpulkan bahan – bahan dan merancang Kompilasi Hukum Islam dimaksud .
Panitia tersebut menempuh empat jalur dalam melaksanakan tugasnya, antara lain; Jalur pertama adalah jalur pengkajian kitab – kitab fiqih dengan bantuan beberapa tenaga pengajar dari Fakultas Syariah IAIN di Indonesia. Jalur kedua adalah jalur pendapat ulama, khususnya ulama fiqih di Indonesia. Jalur ketiga adalah jalur jurisprudensi yang terhimpun dalam Putusan – putusan Peradilan Agama seluruh Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda hingga Kompilasi tersusun. Jalur keempat adalah dengan studi banding mengenai pelaksanaan dan penegakan Hukum Islam di Negara Muslim seperti di Malaysia yang penduduknya Mayoritas Islam.

I.    Hukum Perkawinan
Terdiri dari 19 Bab dengan 170 Pasal;
Bab I
Ketentuan Umum
Pasal 1
Peminangan, wali hakim, akad nikah, mahar, taklik talak, harta kekayaan dalam perkawinan atau harta bersama, pemeliharaan anak, perwalian, khuluk dan mut’ah (pemberian mantan suami kepada istri yang ditalakberupa benda atau ruang, dan sebagainya untuk bekal hidup, penghibur hati, mantan istrinya)
Bab II (Pasal 2 sampai 10)
Dasar – Dasar Perkawinan
Pasal 2
Pernikahan sebagai akad yang sangat kuat dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3
Tujuan perkawinan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah (sejahtera-bahagia), yang dibina dengan mawadah (cinta) dan rahmah (kasih sayang).

Pasal 4
Sah-nya perkawinan bila dilakukan menurut hukum islam.

Pasal 5
Setiap perkawinan harus dicatat oleh Pegawai Pecatat Nikah.

Pasal 6
Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah

Pasal 7
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah

Bab 3 (Pasal 11 sampai 13)
Peminangan
Pasal 11
Tata cara peminangan.

Pasal 12
Wanita yang dapat atau boleh dipinang (gadis atau janda yang telah habis masa iddahnya), sedang wanita yang tidak boleh dipinang adalah wanita yang sedang dipinang pria lain, wanita yang ditalak tetapi yang mungkin rujuk atau kembali bersatu dengan suaminya (dalam masa iddah raj’iah).

Pasal 13
Peminangan belum menimbulkan akibat hukum dan pemutusan peminangan dilakukan sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat.

Bab IV (Pasal 14 sampai 29)
Rukun dan Syarat Perkawinan
Pasal 14
Rukun nikah:
(1)   Calon suami.
(2)   Calon istri.
(3)   Wali nikah.
(4)   Dua orang saksi.
(5)   Ijab dan Kabul.

Pasal 15 sampai 18
Menjelaskan tentang calon mempelai (calon suami-istri), batas umur untuk menikah (19-16 tahun), persetujuan mereka untuk dinikahkan yang harus ditanya sebelum pernikahan dilangsungkan.

Pasal 19
Wali nikah.

Pasal 20
 Yang berhak menjadi wali nikah yaitu wali nasab (yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita) dan wali hakim.

Pasal 21
Susunan keutamaan kekerabatanwali nasab.

Pasal 22
Pergeseran wali nasab, apabila wali nasab yang paling berhak berhalangan menjadi wali nikah.

Pasal 23
Wali hakim ( pejabat pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Agama) menjadi wali nikah apabila wali nasab tidak ada, berhalangan atau enggan melakukan pernikahan calon mempelai wanita.

Pasal 24
Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang.

Pasal 25
Syarat orang yang dapat menjadi saksi; Muslim,adil, akil balig, waras dan tidak tuli.

Pasal 26
Saksi harus hadir menyaksikan langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.

Pasal 27
Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun, tidak berselang waktu.

Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah, tetapi wali nikah dapat mewakilkannya kepada orang lain.

Pasal 29
Calon mempelai pria pribadi yang berhak mengucapkan Kabul. Namun, dalam hal – hal tertentu pengucapan Kabul dapat diwakilkan kepada pria lain dengan pemberian kuasa tertulis secara tegas. Kalau calon mempelai wanita atau walinya keberatan calon mempelai pria diwakili, akad nikah tidak boleh dilangsungkan.

Bab V (Pasal 30 sampai 38)
Mahar
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlaj, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak

Pasal 31, 32, dan 33
Tata cara penentuan mahar, pemberiannya kepada calon mempelai wanita dan penyerahannya yang dapat tunai tetapi boleh juga ditangguhkan baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagian.

Pasal 34
Bahwa mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan. Kelalaian menyebut jenis dan jumlahnya waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan.

Pasal 35
Penyelesaian mahar kalau suami menalak istrinya atau meninggal dunia sebelum mereka berkumpul sebagai suami istri.

Pasal 36, 37, dan 38
Soal – soal mengenai mahar dan pemecahan masalahnya kalau terjadi hal – hal teknis yang disebutkan dalam pasal – pasal tersebut.

Bab VI (Pasal 39 sampai 44)
Larangan Kawin
Pasal 39
Seorang pria dilarang kawin dengan seorang wanita;
(1)   Karena pertalian darah (nasab) yaitu perkawinan antara seorang pria dengan;
(a)  Seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya.
(b)  Seorang wanita keturunan ayah atau ibu.
(c)  Seorang wanita saudara yang melahirkannya.
(2)   Karena pertalian perkawinan (kerabat, semenda) yakni perkawinan pria dengan;
(a)  Seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya.
(b)  Seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya.
(c)  Seorang wanita ketrunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya perkawinan dengan bekas istrinya itu sebelum mereka berhubungan suami istri.
(3)   Karena pertalian sesusuan, yaitu dengan;
(a)  Wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus keatas.
(b)  Wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah.
(c)  Wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan kebawah.
(d)  Wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan keatas.
(e)  Anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

Pasal 40
Seorang pria dilarang kawin dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, yaitu;
(1)   Karena wanita bersangkutan masih terikat perkawinan dengan pria lain.
(2)   Wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. Dalam undang – undang perkawinan, masa iddah atau idah disebut masa tunggu bagi seorang wanita yang ditalak atau kematian suami atau hamil, sebelum kawin lagi dengan pria lain.
(3)   Wanita yang tidak beragama islam.

Pasal 41
(1)   Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian darah atau susuan dengan istrinya, yaitu;
(a)  Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya.
(b)  Wanita dengan bibinya dengan bibinya atau kemenakannya.
(2)   Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri atau istri – istrinya telah ditalak raj’I (talak yang dapat dirujuk atau kembali lagi sebagai suami istri) tetapi masih dalam masa iddah.

Pasal 42
Larangan bagi seorang pria melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang terikat tali perkawinan dengan lebih dari seorang istri.

Pasal 43
Melarang perkawinan seorang pria;
(1)   Seorang pria dilarang kawin dengan;
(a)  Seorang wanita bekas istrinyta yang telah ditalak tiga kali.
(b)  Seorang wanita bekas istrinya yang dili’an (yaitu tuduhan dengan sumpah).
(2)   Gugurnya larangan tersebut pada huruf (a) jika mantan istri itu telah kawin dengan dan bercerai lagi dari pria lain.

Pasal 44
Seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam.

Bab VII (Pasal 45 sampai 52)
Perjanjian Perkawinan
Pasal 45
Bahwa kedua mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk;
(1)   Taklik talak. Taklik talak adalah talak yang digantungkan pada hal atau ketentuan tertentu yang disebutkan dalam perjanjian perkawinan yang diucapkan pengantin pria setelah ijab Kabul. Kendatipun taklik talak bukan merupakan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia mempelai pria mengucapkan taklik talak itu. Dan sekali taklik talak sudah diucapkan, perjanjian itu tidak dapat dicabut kembali.
(2)   Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Biasanya perjanjian perkawinan bentuk ini adalah mengenai percampuran atau pemisahan harta pencarian masing – masing, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum islam.


Pasal 83
(1)   Kewajiban utama seorang istri ialah setia lahir dan batin kepada suami didalam batas – batas yang dibenarkan oleh hukum islam.
(2)   Menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari –hari dengan sebaik – baiknya.

Pasal 84
(1)  Istri dapat dianggap nuzyus jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban – kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
(2)  Selama istri dalam nuzyus, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf (a) dan (b) tidak berlaku, kecuali hal – hal yang berhubungan dengan kepentingan anaknya.
(3)  Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali sesudah istri tidak (lagi) nuzyus.
(4)  Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nuzyus istri harus didasarkan atas bukti yang sah.

Bab XIII (Pasal 85 sampai 97)
Harta Kekayaan Dalam Perkawinan
 Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan (dengan) tidak menutup kemungkinan adanya harta masing – masing suami istri.

Pasal 86, 87, 88, 89, 90, 91
Prinsip adanya harta bersama dan harta masing – masing suami istri, tanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri dan harta suami, bentuknya berwujud atau tidak berwujud, pengelolaannya, pertanggung jawaban dan soal –soal teknis lainnya.
--Pasal 92, 93, 94, dan 95—

Pasal 96
(1)   Apabila terjadi cerai mati, separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
(2)   Pembagian harta bersama seorang suami atau istri yang hilang harus ditangguhkan sampai kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas putusan pengadilan agama.

Pasal 97
Janda atau duda cerai hidup masing – masing berhak seperdua harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Bab XIV (pasal 98 sampai 106)
Pemeliharaan Anak
Pasal 99
Anak yang sah adalah;
(1)   Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
(2)   Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Pasal 100
Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan darah (nasab) dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pasal 101
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istrinya tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an.

Pasal 103
Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.

Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian;
(1)  Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
(2)  Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz (sudah berumur 12 tahun) diserahkan kepada anak yang bersangkutan untuk memilih ayah atatu ibunyakah yang berhak atas pemeliharaannya.
(3)  Biaya pemeliharaan (anak) ditanggung oleh ayahnya.


II.   Hukum Kewarisan
Dalam materi Hukum kewarisan ini tidak memuat rumusan dalam pasal – pasal, namun dalam materi ini mengutip beberapa hal yang sifatnya mendasar tentang kewarisan.
Adapun unsur – unsur kewarisan, antara lain; Pewaris, Harta Warisan, dan Ahli Waris.
Pewaris, adalah seseorang yang telah meninggal dunia dan mennggalkan sesuatu hal (harta) untuk keluarganya yang masih hidup. Berdasarkan asas ijbari, pewaris pada waktu akan meninggal tidak berhak menentukan siapa saja yang akan mendapat peninggalannya, berapa bagiannya, dan bagaimana cara mengalihkan harta itu. Sebab, semuanya telah ditentukan Allah swt kepada calon pewaris mengenai harta yang akan ditinggalkannya, kemerdekaan itu hanya terbatas pada pengalihan sepertiga harta yang akan ditinggalkannya untuk seseorang yang dikehendakinya. Batas itu ditentukan untuk menjaga agar hak ahli waris yang telah ditentukan Allah swt tidak terlanggar.
Harta warisan/ harta peninggalan, adalah segala sesuatu hal yang ditinggalkan pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Maka, harta yang akan ditinggalkan tersebut harus sepenuhnya harta milik pewaris, benda yang bukan sepenuhnya milik pewaris tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Bentuknya berupa benda bergerak, benda tidak bergerak, berwujud, atau hak – hak tertentu. Bila pewaris meninggalkan hutang, maka ahli waris hanya mempunyai tanggung jawab yang terbatas terhadap jumlah harta yang ditinggalkan pewaris saja. Karenanya, ahli waris tidak wajib membayar hutang – hutang pewaris dengan harta pribadinya ahli waris, melebihi harta yang ditinggalkan pewaris.
Ahli waris, adalah satu orang atau lebih yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Disamping karena hubungan kekerabatan atau keluarga, Seseorang dapat menjadi ahli waris jika memenuhi syarat – syarat berikut;
(1)   Masih hidup saat pewaris meninggal dunia.
(2)   Tidak ada sebab – sebab yang menghalanginyamenjadi ahli waris.
(3)   Tidak tertutup (terdinding atau terhijab, yang akan dijelaskan) oleh ahli waris yang lebih utama.
Pada intinya, perincian ahli waris adalah sebagai berikut;
(1)       Anak laki – laki dan anak perempuan.
(2)       Cucu laki – laki dan perempuan.
(3)       Ayah.
(4)       Ibu.
(5)       Kakek.
(6)       Nenek.
(7)       Saudara laki – laki dan saudara perempuan sekandung, seayah dan seibu.
(8)       Anak saudara.
(9)       Paman atau bibi.
(10)    Anak paman dan anak bibi.
Dari kesemuanya, adalah ahli waris karena hubungan darah, sedangkan ahli waris karena perkawinan adalah suami atau istri. Kedudukan suami istri sebagai ahli waris ditetapkan dengan tegas dalam Al-Quran surat An-Nisa (4) ayat 12. Hubungan perkawinan tidak menyebabkan atau mengakibatkan hak kewarisan apapun bagi kerabat suami dan atau kerabat istri.
Dari segi perolehan, ada dua macam  ahli waris didalam hukum kewarisan islam;
(1)       Ahli waris yang sudah ditentukan bagiannya secara pasti (zul fara’id).
Adalah, ahli waris yang mendapat bagian pasti, mungkin setengah, seperempat, seperdelapan, sepertiga, dua pertiga, dan seperenam.
(2)       Ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya secara pasti.
Adalah, mereka yang mendapat bagian keseluruhan harta warisan, jika tidak ada ahli waris zul fara’id lainnya, atau mereka mendapat sisa harta sesudah dikeluarkan bagian zul fara’id dengan pembagian yang bersifat terbuka.
Adapun beberapa sebab yang menjadi penghalang bagi orang yang menjadi ahli waris, antara lain;
(1)       Pembunuhan, yang dilakukan oleh (calon) pewaris.
(2)  Perbedaan agama, adalah seorang muslim/ muslimat tidak bisa menjadi ahli waris seorang yang non-muslim, begitupun sebaliknya (al-Hadis).
(3)       Kelompok keutamaan dan hijab.
(a)   Bergabung anak – anak pewaris dan orang tuanya.
(b)   Bergabung saudara – saudara pewaris.
Asas – asas yang dituang kedalam kompilasi hukum islam, antara lain;
(1)   Asas ijbari, terlihat pada ketentuan umum, mengenai perumusan pengertian kewarisan, pewaris dan ahli waris. Secara khusus, tersebut dalam ketentuan umum pada pasal 187 ayat (2) yang berbunyi;
Sisa pengeluaran dimaksud diatas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
Perkataan harus dalam pasal ini menunjukan kandungan dari asas ijbari yang dimaksud.
(2)   Asas bilateral, duda atau janda menjadi ahli waris berdasarkan hubungan perkawinan juga termasuk cirri dari asas bilateral. Perlu dicatat, bahwa asas bilateral dalam hukukm kewarisan di Indonesia untuk pertama kalinya, dikemukakan oleh Alm. Prof. Hazairin mantan guru besar Hukum Islam dan Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ketika memperingati hari ulang tahun Universitas Islam Jakarta tanggal 17 Nopember 1957, dalam kuliah umumnya beliau mengatakan bahwa system kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan) dalam Al-Quran adalah bilateral. Kesimpulan itu beliau kemukakan setelah mempelajari ayat – ayat perkawinan dan kewarisan (kekeluargaan) dalam Al-Quran. Sejak tahun 1950 dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral, bahwa Al-Quran adalah anti kepada masyarakat yang unilateral, yaitu masyarakat yang berklan – klan menurut system kekeluargaan secara matrilineal dan patrilineal. Beliau menambahkan, Al-Quran hanya meredai masyarakat yang bilateral. Keyakinan itu beliau peroleh setelah memperdalam kandungan surat N-Nisa (4) ayat 23 dan 24 mengenai larangan – larangan perkawinan.
(3)   Asas individual, khusus bagi ahli waris yang belum dewasa atau belum mampu bertindak melaksanakan hak dan kewajibannya atas harta warisan yang diperoleh, baginya diangkat wali berdasarkan putusan hakim atas usul anggota keluarganya. Ini diatur dalam Pasal 184 kompilasi Hukum islam.
(4)   Asas keadilan berimbang, juga dikembangkan dalam penyesuaian perolehan yang dilakukan pada waktu penyelesaian pembagian warisan melalui;
(a)  Pemecahan secara aul, dengan membebankan kekurangan harta yang akan dibagi kepada semua ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing – masing.
(b)  Rad, yaitu mengembalikan sisa (kelebihan) harta kepada ahli waris yang ada sesuai dengan kadar bagian masing – masing. Dalam kompilasi hukum islam mengenai rad ini tertuang dalam pasal 193 yang berbunyi; Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris zul fara’id menunjukan bahwa angka pembagian lebih kecil daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah (berhubungan darah karena seklen) maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, sesuai dengan hak masing – masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang diantara mereka.
(c)  Takharuj atau tasaluh (damai) berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam kompilasi islam hal ini tertuang dalam pasal 183 dengan bunyi; Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing – masing menyadari bagiannya.
Contoh:
Pengadilan Agama menetapkan bahwa C dan D mewarisi seluruh harta peninggalan kakeknya berbanding 2:1 sedangkan E dan F tak berhak mewarisi dari kakeknya karena keduanya adalah dzawil arham. Jadi, C mendapat 2/3 bagian, dan D mendapat 1/3 bagian.
Jika ajaran kewarisan bilateral Hazairin diterapkan pada kasus tersebut diatas, maka C, D, E, dan F memperoleh harta peninggalan sebagai ahli waris pengganti (mawali) orang tuanya atas dasar Al-Quran surat An-Nisa (4) ayat 33 dengan formula 2;1. Jadi, C mendapat 2/3 x 2/3 = 4/9; D mendapat 1/3 x 2/3 = 2/9. Keduanya yakni C dan D adalah mawali (dari) A. Sedangkan E mendapat 2/3 x 1/3 = 2/9; F mendapat 1/3 x 1/3 = 1/9. Keduanya, adalah mawali (dari) B.

III. Hukum Perwakafan
Bab I
Ketentuan Umum
Pasal 215
--Maksud wakaf, wakif, ikrar, benda wakaf, nadzir, pejabat pembuat akta ikrar wakaf yang diangkat dandiberhentikan oleh Menteri Agama—

Bab II
Fungsi, Unsur – unsur dan Syarat – syarat Wakaf
Pasal 216
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.

Pasal 217
Unsur – unsur dan syarat – syarat wakaf;
(1)   Bahwa badan – badan hukum Indonesia dan orang atau orang – orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri depat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
(2)   Yang bertindak untuk dan atas nama badan – badan hukum itu adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.
(3)   Benda wakaf (segala benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilaimenurut ajaran islam) harus merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.

Pasal 218
Wakif, yaitu orang atau orang – orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nazir yaitu kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.

Pasal 219
(1)   Syarat – syarat nazir harus;
(a)    Warga Negara Indonesia.
(b)    Beragama Islam.
(c)    Sudah dewasa.
(d)    Sehat jasmani dan rohani.
(e)    Tidak berada dibawah pengampunan.
(f)     Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkan.
(2)   Jika nazir berbentuk badan hukum, harus;
(a)    Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
(b)    Mempunyai perwakilan dikecamatan tempat letak benda yang diwakafkan.


Pasal 220, 221, dan 222
Kewajiban dan Hak – hak Nazir, antara lain; nazir berkewajiban mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, melaksanakan pengurusan wakaf sesuai dengan tujuannya. Nazir berhak mendapat penghasilan dan fasilitas, yang jenis dan jumlahnya ditentukan berdasarkan kelayakan setempat.

Bab III
Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf
Pasal 223
--Tata Cara Perwakafan—
Pasal 224
--Cara – cara pendaftaran—

Bab IV
Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf
Pasal 225
--Tentang perubahan benda wakaf—

Pasal 226
--Penyelesaian perselisihan benda wakaf

Pasal 227
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab nazir dilakukansecara bersama – sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamata, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan Agama yang disekitar wilayahnya.

Pasal 228
Perwakafan benda, demikian juga pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya ketentuan ini, harus dilaporkan dan didaftarkan kepada kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk disesuaikan dengan ketentuan – ketentuan ini.

Bab V
Penutup
Pasal 229
Hakim dalam menyelesaikan perkara – perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh – sungguh nilai – nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.
Ketentuan Penutup dari materi ketiga ini, dimaksudkan juga mencakup sebagai Penutup dari tiga materi yang telah dibahas.



Dalam penjelasan umum disebutkan bahwa hukum materiil yang selama ini berlaku dilingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang pada garis besarnya meliputi bidang Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan dan Hukum Perwakafan.
Demikian penjelasan umum dimaksud, perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumentasi yustisia atau buku kompilasi Hukum Islam sehingga dapat dijadikan pedoman bagi hakim dilingkungan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara – perkara yang diajukan kepadanya.
Jika pasal – pasal Kompilasi Hukum Islam tersebut dipelajari dengan seksama, segera terasa bahwa isinya selain mengandung garis – garis hukum atau bagian – bagian hukum Islam yang sudah meresap kedalam dan menjadi kesadaran hukum masyarakat muslim, juga mengandung hal – hal baru yang bercorak Indonesia, misalnya untuk menyebut sekedar contoh ahli waris pengganti, waiat wajibah untuk anak angkat.
Dari penjabaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber penyusunan Hukum Islam dalam kompilasi ini selain dari Wahyu yang terdapat dalam Al-Quran, Sunah Rasulullah yang terdapat dalam kitab – kitab hadis, juga ra’yu (akal pikiran) melalui ijtihad yang tercermin dalam;
(1)   Kitab – kitab fiqih.
(2)   Pendapat para Ulama Indonesia.
(3)   Yurisprudensi Peradilan Agama.
(4)   Hasil studi perbandingan dengan Negara – Negara lain.
(5)   Peraturan perundang – undangan mengenai perkawinan dan perwakafan tanah milik di Indonesia.
--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar